Penulis: Ust. Nasrurrohman Zein, M. Hum (via Al-Fatih Jurnalism Club)

           Merenungkan kembali aktvitas kita selama di madrasah ini akan mengingatkan kita, bahwa pada intinya kita sedang berfokus pada satu hal: Thulabu ‘Ilm! (belajar!) atau dalam arti yang lebih luas pendidikan. Baik kita sebagai murid (santri) maupun guru (ustadz) pada dasarnya sedang menempuh sebuah pendidikan atau aktivitas belajar. Sama-sama belajar, karena bagi seorang guru pun dengan mengajar ia jadi selalu belajar dan berproses menjadi guru yang baik. Baik dalam hal penguasaan terhadap bidang ilmunya maupun dalam hal kemampuan mengajarnya. Artinya apa yang kita semua lakukan ini sejatinya dalam rangka menempuh jalan fii sabilillah. Serta dapat diartikan dalam rangka berusaha memperoleh derajat kemuliaan di sisi Allah ‘azza wa jalla. Namun sudahkah saat ini kita telah betul-betul mencapai dua keutamaan tersebut?

           Dalam realitanya, tentu kita sadari bahwa meraih kualitas yang betul-betul ideal tidaklah mudah. Allah selalu memberikan berbagai tantangan dalam setiap proses menggapai derajat mulia di sisi-Nya. Sebagaimana kita rasakan, tak jarang di satu sisi sebagai guru kita memandang murid/santri lemah dalam hal motivasi dan semangatnya dalam belajar, sehingga berdampak pada rendahnya antusiasme (semangat) di kelas, pun berdampak pula akhirnya pada tingkat pemahaman materi pelajaran berikut rendahnya nilai akademis mereka. Sementara di sisi lain, tidak sedikit pula kita sebagai murid merasakan bahwa seorang guru adakalnya kurang mampu menunjukkan Uswah Hasanah (contoh yang baik) yang sempurna dalam pribadinya, sehingga berdampak pada kurangnya santri dalam mendapatkan sosok yang inspiratif guna memacu semangat mereka dalam jihad mencari ilmu. Lalu apa yang kurang?

Meletakkan Sesuatu Pada Tempatnya

           Jika kita coba telisik secara mendalam, akar dari persoalan di atas (murid yang kurang motivasi belajar atau guru yang kurang dapat menjadi inspirasi belajar) berkaitan erat dengan persoalan adab. Apa itu adab? Adab di antara maknanya berarti “..(istilah yang digunakan untuk) menyatakan pengetahuan terhadap hal-hal yang dengannya semua jenis kesalahan bisa dihindari” (Kitab al-Ta’rifat li al-Syarif al-Jurjani), atau meminjam penjelasan Ust. Adian Husaini, adab berarti “Meletakkan sesuatu pada tempatnya”.

           Meletakkan sesuatu pada tempatnya, sehingga kita terhindar dari semua jenis kesalahan berarti memiliki aspek yang sangat luas dan termasuk di dalamnya adalah soal pendidikan, sebab melalui pendidikanlah seorang itu belajar melatih diri agar mampu menjadi pribadi “Insan kamil” (Good People). Maka, tentulah kita dari sini sadar bahwa adab mendasari baiknya proses belajar-mengajar, sebagaimana perkataan Imam Malik rahimahullah: “Wahai anak saudaraku, pelajarilah adab sebelum mempelajari ilmu” (Kitab Hilyat al-Auliya’), dan pula perkataan Ibnu Mubarak rahimahullah: “Seorang tidak akan mencapai kemuliaan dengan salah satu macam ilmu selama dia tidak menghiasi amalnya dengan adab” (Adab Guru dan Murid: 27).

Prinsip Tholabul ‘Ilm

           Di dalam buku Adab al-‘Alim wa al-Muta’alim (Adab Guru dan Murid), sebagaimana dinukil dari kitab Tadzkirat al-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adabi al-‘Alim wa al-Mutakalim karya Imam Badruddin Ibnu Jama’ah menerangkan beberapa hal berkaitan tentang adab-adab seorang guru dan murid, sebagaimana yang telah dicontohkan para guru terbaik (ulama’) dan murid terbaik dari kalangan salaf. Berikut merupakan di antaranya:

           Bagi seorang murid, di antara adab-adab yang paling utama adalah: Pertama, membersihkan diri dari dosa maksiat dan segala kekotoran hati. Adalah sebuah nasehat yang termasyhur dari guru Imam Syafi’I (Imam Waki’) rahimahumallah kepada beliau terkait hal ini: “..ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang suka bermaksiat.” (Kitab Diwan al-Syafi’i). Begitu juga nasehat Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah: “Dunia adalah rumah bagi orang yang sakit, dan manusia di dalamnya pun sakit. Bagi orang gila di rumah sakit jiwa ada dua hal, yaitu belenggu dan ikatan rantai. Sedang bagi kita (yang normal) ada dua belenggu hawa nafsu dan ikatan (cengkeraman) kemaksiatan.” (Kitab Kitab Tadzkirat al-Sami’ wa al-Muta’kallim).

           Dari sini kita belajar tentang persoalan yang perinsip di dalam Tholabul ‘ilm, yakni bahwa hakekat ilmu adalah cahaya (dari Allah) sehingga tak mungkin kita mampu memperoleh cahaya itu jika kita banyak bermaksiat. Semakin banyak maksiat/dosa kita lakukan, maka akan semakin sedikit ilmu yang dapat kita peroleh dan semakin berat pula proses belajar kita. Maka benarlah jika hawa nafsu (yang mendorong) pada maksiat itu seperti “belenggu” bagi jiwa kita.

           Kedua, meluruskan niat semata-mata mencari ridha Allah. Soal niat mustilah bukan perkara yang mudah. Bahkan seorang yang ‘alim dari kalangan ulama’ salaf sendiri, yakni Imam Sufyan ats-Tsauri pernah berkata: “Aku belum pernah menangani sesuatu pun yang lebih berat dibanding niatku sendiri. Ia sering berbolak-balik terhadapku.” (Kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’alim). Padahal, di saat yang sama di dalam belajar itulah aspek niat punya peran yang penting bagi kesungguhan, serta ketawadhu’an seorang penuntut ilmu/santri, sehingga ini Ibrahim al-Adham rahimahullah pernah menasehatkan:

Barang siapa mencari ilmu semata-mata agar hamba-hamba Allah yang lain bisa mengambil manfaatnya dan bermanfaat pula bagi dirinya sendiri, pasti ia lebih suka menjadi tidak terkenal dibanding bersaing (dengan orang lain). Itulah yang akan menambah perasaan rendah (di hadapan Allah) dalam jiwanya, membuatnya semakin bersungguh-sungguh dalam beribadah, semakin takut kepada Allah dan rindu kepada-Nya, serta tawadhu’ di tengah-tengah umat manusia, tidak peduli apa yang berlalu pada waktu pagi dan sore di dunia ini

(Kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’alim).

           Ketiga, menyadari pentingnya ilmu dalam hidup. Di antara sebab paling mendasar lain bagi kokohnya semangat dan motivasi kita sebagai santri dalam mencari ilmu adalah kesadaran terhadap pentingnya kedudukan ilmu bagi hidupnya. Dalam hal ini, Rasulullah shallahullahu’alaihi wa sallam pernah bersabda: “Barangsiapa keluar dalam rangka mencari ilmu maka ia fii sabilillah (berada di jalan Allah) sampai ia kebali” (HR. Tirmidzi).

           Beliau juga pernah bersabda: “Barangsiapa yang meniti suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan untuknya jalan menuju Surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid) untuk membaca kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan ketenteraman turun atas mereka, rahmat meliputi mereka, malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyanjung mereka di tengah para Malaikat yang berada di sisi-Nya.” (HR. Muslim: 2699). Artinya, hidup di jalan Allah yang mana akan menghantarkan kita kelak pada ketentraman hati (di dunia), dan kebahagiaan (di akherat), dapat diperoleh saat kita menuntut ilmu. Maka fahamlah kita di sini, bahwa salah satu tolok ukur lurusnya hidup kita dapat dilihat dari istiqomahnya kita dalam mencari ilmu sampai kita mati.

Prinsip Penyebar Ilmu

           Adapun di antara adab terpenting seorang guru adalah Pertama, meluruskan niat. Persoalan niat memang merupakan landasan dari setiap amal, termasuk di sini, baik bagi guru (ustadz) maupun murid (santri). Penjagaan niat seorang guru atas niatnya dalam mengajar tercermin dari tujuan yang ingin dicapai dalam Pendidikan yang ia lakukan. Dalam hal ini kita dapat belajar pada Imam Syafi’I rahumahullah. Beliau berkata: “Saya tidak pernah berbincang-bincang dengan seorang pun melainkan saya berharap ia diberi taufik, ditepatkan, ditolong, dan supaya (perbincangan itu) menjadi pemeliharaan dan penjagaan Allah atas dirinya.” (Kitab Bustan al’-Arifin).

           Mutharrif bin ‘Abdillah rahimahullah juga pernah memberikan kaedah terkait hal ini: “Baiknya hati itu dengan baiknya amal, dan baiknya amal itu dengan baiknya niat.” (Kitab Jami’ al-‘Ulum). Dari sini kita bisa belajar, bahwa akan ada selalu hubungan sebab-akibat (kausalitas) antara baiknya niat dengan baiknya amal, yang nantinya itu akan tampak dari baiknya tujuan, berikut hasil amalnya (pendidikannya). Ini tentu perlu kita ingat baik-baik karena para salaf amat sangat menjaga hal ini, sebagaimana perkataan Ali radhiyallahu’anhu juga pernah berkata: “Jadilah kalian orang yang lebih mencemaskan diterimanya amal melebihi kecemasan kalian terhadap amal itu sendiri. Tidaklah kalian mendengar firman Allah, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang-oraang yang bertaqwa” (QS. Al-Maidah: 27) (Kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’alim).

           Kedua, menjaga sikap tenang. Terkait hal ini, kita dapat mengambil pelajaran berharga dari nasehat Imam Malik rahimahullah dalam surat beliau kepada khalifah besar Abbasiyah, Harun al-Rasyid: “Apabila engkau mengetahui suatu ilmu, maka hendaknya pengaruhnya tampak pada dirimu, juga ketenangan, tindak-tanduk (yang baik), kewibawaan, dan kesantunannya, (sebab sebagaimana) berdasarkan sabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, “Ulama’ adalah pewaris para Nabi.” (Kitab Tadzkirat al-Sami’ wa al-Muta’kallim).

           Imam Hasan al-Bashri juga menegaskan terkait hal ini: “Dulu, bila seorang telah mempelajari satu bab ilmu, maka tak lama kemudian (pengaruhnya) akan terlihat pada kekhusyu’annya, tatapan matanya, lidahnya, tangannya, kezuhudannya, keshalihannya, dan seluruh tubuhnya. Bila seorang benar-benar belajar satu bab ilmu (yang seperti itu), maka sungguh itu lebih baik dari dunia dan seisinya.” (Kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’alim). Begitu juga dengan khalifah ‘Umar radhiyallahu’anhu pernah mengajarkan: “Pelajarilah ilmu, dan pelajarilah, untuk ilmu itu, ketenangan dan kewibawaan.” (Kitab Tadzkirat al-Sami’ wa al-Muta’kallim). Oleh karena itu dari sini bisa belajar, bahwa hal yang membedakan kualitas para guru di masa lalu (para ulama’ salaf) dengan guru di masa sekarang adalah keberkahan dari ilmu yang dimiliki, di mana ini tampak pada ketenangan, kekhusyu’an, serta kewibawaan pribadinya.

           Ketiga, adalah menyadari bahwa kedudukan sebagai guru adalah amanah dari Allah ta’ala. Terkait hal ini cukuplah sekiranya satu nasehat dari Imam Ibnu Syihab as-Zuhri rahimahullah: “Sesungguhnya ilmu ini adalah pendidikan dari Allah yang dengannya Allah mendidik Nabi-Nya, dan dengannya pula belau mendidik umatnya. Ia adalah amanah Allah kepada Rasul-Nya agar ditunaikan dengan semestinya. Maka, siapa yang mendengar suatu ilmu hendaknya ia menjadikannya di depannya sebagai hujjah antara dia dan Allah,” (Riwayat Khotib dalam kitab al-Jami’).

           Maka sadarlah kita bahwa posisi kita sebagai seorang pengajar sejatinya betul-betul serius, sebab pada diri seorang ‘alim (pemilik ilmu) yang berperan sebagai muta’allim (guru) Allah ‘azza wa jalla menitipkan amanah ilmu untuk diajarkan dengan baik (dengan adab). Beberapa adab-adab yang telah dijelaskan di atas tentulah belum mencakup semua adab yang diajarkan oleh para ulama’. Akan tetapi, setidaknya dari yang sedikit itu bisa menjadi bahan renungan kita semua, apakah yang sedikit sudah kita lakukan (dengan baik)? Maka sembari kita terus berusaha mencari jalan solusi bagi berbagai persoalan pendidikan yang kita hadapi, ada baiknya kita kembali merenungkan pentingnya adab bagi pendidikan kita.

Wallahua’lamu Bisshowwab

2 Thoughts to “Merenungkan Kembali Pentingnya Adab”

  1. The point of view of your article has taught me a lot, and I already know how to improve the paper on gate.oi, thank you.

    1. adminibs

      We are glad that this article was useful to you 😇🙏

Comments are closed.