Santri Pesantren Hidayatullah Jogja

Penulis: Yahya Hakim Al-Farizi (Al-Fatih Jurnalism Club)

           Sebelum memuhasabah diri, alangkah lebih baik kita menegenali diri kita terlebih dahulu. Karena mungkin, banyaknya musibah yang datang, sebabnya karena kita lupa akan siapa diri kita. Lupa bahwa kita ini adalah manusia. Makhluk yang Allah ciptakan sebagai khalifah diatas bumi. Pengganti atas bangsa yang telah binasa karena perbuatan mereka yang merusak bumi. Tapi, kita melupakan jati diri sebagai Manusia dan mulai bertindak sebagai perusak bumi, layaknya mengundang murka Allah untuk membinasakan manusia, sebagaimana bangsa sebelumnya dibinasakan.

           Makhluk berakal sehat, untuk berfikir dan bertindak. Berbeda dengan makhluk lain yang ada di bumi, hewan dan tumbuhan tak memiliki kesempurnaan ini. Penyempurnaan istimewa dari Allah bagi manusia agar bisa bertindak sebagai khalifah di Muka Bumi. Dengannya kita dapat membedakan mana yang baik dan buruk. Bahkan, akal inilah yang menjadikan manusia menduduki kedudukan yang tinggi. Walaupun, sebagai manusia harus kita sadari, bahwa awal penciptaan Manusia berasal dari sesuatu yang hina, setetes mani. Maka tak pantas bagi manusia untuk sombong dengan merusak bumi Allah serta menentang Ilahi.

           Namun juga perlu kita sadari, bahwa dengan diawali setetes mani, lalu berproses menjadi segumpal darah lalu segumpal daging, sampai diberikan ruh pada saat di Rahim. Hingga akhirnya lahir ke Dunia, itu semua menandakan sebegitu panjang dan sistematis proses kejadian sebelum kita lahir. Yang dengan proses itu, muncullah makhluk sempurna bernama Manusia. Makhluk sosial dengan kecenderungan membutuhkan perhatian dan bantuan. Yang tak akan keduanya terealisasikan dengan adanya kebaikan dan saling pemahaman. Dan fitrah manusia itu sendiri adalah berbuat kebaikan. Namun, akhir-akhir ini kita sebagai manusia mulai kehilangan sifat manusia asli kita dan berubah haluan menjadi sesosok yang merusak bumi untuk memuaskan egoisme pribadi. Inilah yang menyebabkan dosa yang bertumpuk-tumpuk membebani punggung kita. Punggung Bani Adam. Dan timbal baliknya atas manusia itu sendiri. Dengan akhir, munculah musibah yang silih berganti.

           Masihkah kita ingat ? atau mungkin tak perlu kita ingat, cukup kita lihat berita nasional, akan kita dapati akan ada berita banjir masih menggenang menyimpan sampah yang dibuang oleh manusia yang terkena banjir. Tangan-tangan yang senang membuang sampah mengotori lingkungan sekaligus menyumbat sungai dengan pasti. Menahan air, untuk diberikan kepada yang mengotori. Dengan bukti satu ini benarlah firman Allah ta’ala bahwa bencana terjadi karena perbuatan manusia yang merusak.


“وَمَآ اَصَابَكُمْ مِّنْ مُّصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ اَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍۗ

           “Dan segala musibah yang menimpa kalian adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian. Dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan kalian)” (QS. Asy-Syuuraa: 30).

           Agar kita lebih memahami makna dari dalam, menafsirkan secara  benar, sehingga benar dalam mengamalkan. Maka, mari kita simak dua penjelasan dari dua ulama besar tafsir di bawah ini.

Ibnu Katsiir rahimahullah menjelaskan:

           “Dan firman-Nya (yang artinya) dan segala musibah yang menimpa kalian adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian maksudnya wahai manusia! musibah apapun yang menimpa kalian, semata-mata karena keburukan (dosa) yang kalian lakukan. “Dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan kalian)” maksudnya adalah memaafkan dosa-dosa kalian, maka Dia tidak membalasnya dengan siksaan, bahkan memaafkannya. Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan perbuatannya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melatapun (Faathir: 45) (Tafsir Ibnu Katsiir: 4/404).

Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat di atas:

           “Allah Ta’ala memberitahukan bahwa tidak ada satupun musibah yang menimpa hamba-hamba-Nya, baik musibah yang menimpa tubuh, harta, anak, dan menimpa sesuatu yang mereka cintai serta (musibah tersebut) berat mereka rasakan, kecuali (semua musibah itu terjadi) karena perbuatan dosa yang telah mereka lakukan dan bahwa dosa-dosa (mereka) yang Allah ampuni lebih banyak.

           Karena Allah tidak menganiaya hamba-hamba-Nya, namun merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan perbuatannya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu mahluk yang melatapun, dan menunda siksa itu bukan karena Dia teledor dan lemah” (Tafsir As-Sa’di: 899)

           Dan sejalan dengan ini, benarlah perkataan keponakan Rasulullah yang berakal cerdas, dengan pemikiran di atas dasar kalam ilahi, Ali Bin Abi Thalib r.a. pernah berkata :

           “Tidaklah musibah tersebut turun melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah bisa musibah tersebut hilang melainkan dengan taubat.” (Al Jawabul Kaafi, hal. 87)

           Begitu bodohnya diri kita akan hal yang penting, bahwa Allah Maha Penyayang akan hamba-Nya, terbukti dengan ayat dan tafsir yang dipaparkan di atas. Apakah masih kurang kasih sayang itu menyadarkan diri kita, akan siapa kita sebenarnya ? Cukuplah musibah-musibah yang berlarut-larut ini menjadi bukti yang nyata dan kuat bahwa hal ini adalah suatu yang benar. Kenyataan bahwa ini semua terjadi dikarenakan perbuatan manusia itu sendiri.

           Kita melupakan pribadi kita yang ditunjuk oleh Allah untuk memimpin di Muka Bumi, lalu kita berbuat kerusakan di Bumi Allah dengan akal pemberian Allah. Berulang-ulang kita melupakan jati diri sebagai seorang manusia. Dan mulai bertindak layaknya makhluk tanpa akhlaq dan akal. Apakah kita pernah mendengar perkataan laut atas manusia dalam sebuah sebuah hadist Qudsi,

           “Tidak ada satu malam-pun, kecuali di dalamnya lautan mendekat ke bumi tiga kali, meminta ijin kepada Allah untuk membanjiri/menenggelamkan mereka. Maka Allah –Azza wa Jalla menahannya.” [Musnad : 303/1/395]

           Tidak hanya sekali laut meminta izin untuk membinasakan manusia, bayangkan dalam sehari, ia meminta pada Allah tiga kali, dan ini dilakukannya setiap hari. Sobat El-Fath, coba kita renungkan, sebuah perumpamaan yang datang dari pengalaman kita sendiri, pada suatu momen dimana kita sangat menginginkan sesuatu, contohnnya sesuatu yang ada pada orang tua kita. Maka kita akan berusahanya memintanya berulang kali untuk mendapatkannya. Karena sebegitu inginnya. Sebagaimana sebegitu geramnya laut akan perbuatan manusia yang merusak. Sampai rutin meminta izin pada Allah 3X sehari. Layaknya itu merupakan kebutuhan makan. Namun, Allah masih Maha Penyayang, Allah tahan, Allah tak izinkan dahulu laut melakukan keinginan. Namun, kita masih saja tidak sadar. Bertambah angkuh menyalahi sikap asli seorang manusia dan hamba. Yang mestinya mengabdi dan di hadapan Allah, dirinya merendahkan. Maka tidak heran bila sekarang, musibah datang layaknya air hujan.

           Maka memuhasabah diri segera kembali pada jalan yang sebenarnya adalah salah satu jalan keluar. Salah satu cara menghentikan guyuran hujan musibah yang datang. Menyapa untuk menyadarkan. Maka sekaranglah waktunya kita sadar. Akan sifat kita yang bertolak belakang dengan sikap manusia semestinya. Sebagaimana perkataan Ali Bin Abi Thalib r.a., bahwa musibah takkan terangkat, selama taubat masih belum terealisasikan. Selama manusia belum mau melakukan perubahan. Maka segera bertaubat adalah jalan menuju kedamaian akan musibah yang datang, sekaligus jalan menuju kembalinya kita ke sikap fitrah manusia, fitrah seorang hamba. Maka taubat ini jugalah yang akan menjadi kunci perubahan yang kita lakukan agar Allah merubah keadaan kita. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman pada kitab Al-Qur’an,

اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ

           “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka” (QS. Ar-Ra’d [13]: 11)

           Maka kita merubahnya dengan kembali pada hakikat kebenaran penciptaan manusia, hamba Allah. Berhenti membuat kerusakan, berhenti bermaksiat, maka secara berkala, Insya Allah musibah akan mereda dan insya Allah berhenti turun.

Wallahua’lamu Bisshowwab