Ketika membaca kembali sejarah tentang perang jamal, terkadang kita mengelus dada dan menghela nafas panjang. Bagaimana tidak, dua kubu yang berhadapan pada perang tersebut bukanlah pasukan kaum muslimin melawan pasukan Romawi atau Persia, melainkan sesama kaum muslimin. Bahkan yang memimpin kedua pasukan bukanlah orang sembarangan, melainkan dua sosok sahabat dan shahabiyah yang tidak diragukan lagi ketaqwaan dan kemuliaannya. Beliau adalah Sayyidina Ali ibn Abi Thalib ra. dan Ibunda Aisyah ra.
Kejadian tersebut bermula setelah terbunuhnya Utsman bin Affan oleh pemberontak di Madinah. Saat itu Ali ra sebagai khalifah selanjutnya, merasa bahwa mengqishas pembunuh utsman bukanlah prioritas utama dan masih dapat ditunda. Karena beliau memandang bahwa menunda qishas pembunuh utsman akan menimbulkan kerusakan yang lebih kecil daripada mempercepatnya. Karena saat itu kondisi keamanan juga belum pulih sepenuhnya.
Namun banyak para sahabat, terutama yang belum mengetahui maksud penundaan qishas. Merasa perlu untuk mengingatkan khalifah perihal pentingnya qishas. Atau malah mereka sendiri yang mencari pembunuh Utsman dan mengqishasnya.
Tak terkecuali Ibunda Aisyah ra, mendengar kabar terbunuhnya Utsman, beliau memang sedari awal hendak menuntut balas para pembunuhnya. Apalagi setelah ibunda ra didatangi Thalhah ra, Az-Zubair ra, Ya’la bin Munyah, dan Abdullah bin amir yang mengutarakan maksud yang sama. Semua itu dilakukan, juga karena mereka memandang bahwa mereka memandang bahwa mereka telah lalai dalam menjaga Utsman.
Ibunda keluar dari Makkah diikuti orang-orang yang juga ingin menuntut balas pembunuh Utman ke Bashrah. karena saat itu di bashrah terdapat salah satu pembunuh Utman bernama Jabbalah.
Sesampainya di Bashrah, pasukan Ibunda Aisyah bertemu dengan Utsman bin Hunaif, gubernur Bashrah. Utman bin Hunaif pun menanyakan tujuan kedatangan mereka. Pasukan Aisyah menjelaskan bahwa mereka menginginkan pembunuh Utsman. Utsman bin Hunaif pun berkata “Tunggulah hingga Ali datang”. Karena pada saat itu Ali memang sedang berada di madinnah.
Ketika itu, Jabalah pun keluar menemuai pasukan Aisyah membawa 700 personil. Namun pasukan Aisyah pun dapat mengalahkan dan membunuh personil yang ikut bersamanya. Mendengar hal tersebut, Ali pun keluar dari Madinah dan menemui mereka di Kuffah. Dengan membawa pasukan yang berjumlah 10.000.
Singkat kisah, setelah pasukan bertemu dan saling melakukan perundingan. Ali ra mengirimkan Al-Miqdad bin Aswad dan Al-Qa’qa bin Amr untuk berunding dengan Thalhah dan Az-Zubair dari pasukan Aisyah. Dalam perundingan tersebut mereka bisa saling memahamkan maksud perbuatan kubu masing-masing. Karena hakikatnya, baik pasukan Ali maupun Aisyah sama-sama punya maksud baik.
Setelah kesepakatan tersebut, dua pasukan tertidur dengan tenang. Tapi lain halnya dengan para pengikut Abdullah bin Saba’, orang-orang zindiq dan muanafiq. Mereka melewati malam dengan buruk. Demikian yang ditulis dalam kitab para sejarawan seperti At-Thabari, Ibnu Katsir, Ibnu Atsir, Ibnu Hazm, dan yang lainnya.
Menjelang waktu subuh, ketika orang-orang masih terlelap, sekelompok dari orang-orang ini menyerang pasukan Thalhah, lalu membunuh beberapa orang di antara pasukannya. Pasukan Thalhah bahwa pasukan Ali berkhianat atas perjanjian dan hasil kesepakatan mereka. Pagi harinya, mereka menyerang pasukan Ali. Melihat hal itu, pasukan Ali mengira bahwa pasukan Thalhah berhianat. Serang-menyerang pun terjadi. Selanjutnya perang pun berkecamuk dengan hebatnya.
Huuuh, menyimak catatan sejarah diatas, kita akan Kembali mengehala nafas panjang. Melihat fakta bahwa pepecahan kaum muslimin saat itu, diakibatkan oleh orang-orang yang tidak suka terhadap persatuan dan kejayaan Islam.
Maka catatan kelam ini cukup mejadi pelajaran penting buat kita. Jangan sampai hasutan, adu domba orang-orang yang menginginkan kehancuran islam berhasil memerangkap kita. Apalagi saling menghina, mencaci-maki, apalagi saling menyakiti dan membunuh sesama umat islam.
Wallahu a’lam bishowab